PERBANDINGAN PANDANGAN IMAM HAMBALI DAN IMAM SYAFI’I TENTANG MASA IDAH PEREMPUAN AKIBAT CERAI KHULU’

Authors

  • Muslim Muslim Institut Agama Islam Qamarul Huda

DOI:

https://doi.org/10.59259/am.v4i1.292

Keywords:

idah, khulu’, Imam Hambali, Imam Syafi’i, hukum Islam, perbandingan mazhab.

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji secara komparatif pandangan Imam Hambali dan Imam Syafi’i mengenai masa idah perempuan yang bercerai melalui khulu’. Khulu’ merupakan bentuk perceraian yang diajukan oleh istri kepada suami dengan memberikan tebusan (iwadh) kepada pihak suami, dan hukumnya diakui dalam syariat Islam. Perbedaan pandangan para imam mazhab muncul dalam menentukan lamanya masa idah bagi perempuan yang mengalami cerai khulu’, terutama terkait apakah idahnya sama dengan perceraian biasa (thalak) atau berbeda karena sifat khusus dari khulu’.

Penelitian ini menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan komparatif fiqh (fiqh muqaran). Data diperoleh dari literatur klasik (kutub al-turats) dan kitab fiqh utama kedua mazhab, seperti Al-Mughni karya Ibnu Qudamah dari mazhab Hambali dan Al-Umm karya Imam Syafi’i, serta beberapa kitab tafsir dan hadis yang relevan. Analisis dilakukan dengan menelaah dasar argumentasi hukum, dalil Al-Qur’an, hadis, serta metode istinbath hukum yang digunakan masing-masing imam.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa Imam Syafi’i berpendapat masa idah perempuan yang bercerai dengan khulu’ adalah tiga kali suci (tiga quru’), sebagaimana idah perceraian pada umumnya, karena khulu’ dianggap sebagai bentuk talak bain (talak yang tidak dapat dirujuk) namun tetap berada dalam kategori talak. Sedangkan Imam Hambali berpendapat bahwa masa idah khulu’ adalah satu kali haid, dengan merujuk pada hadis riwayat Ibnu Abbas yang menyebutkan bahwa istri Tsabit bin Qais setelah khulu’ hanya menjalani satu kali haid sebelum dapat menikah lagi.

Perbedaan ini muncul karena perbedaan metode istidlal (pengambilan dalil) dan penafsiran terhadap status hukum khulu’ itu sendiri—apakah dipandang sebagai bentuk talak atau sebagai fasakh (pembatalan pernikahan). Meskipun demikian, kedua imam sepakat bahwa tujuan penetapan idah adalah untuk memastikan kesucian rahim dan menjaga ketertiban nasab.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah bahwa perbedaan pandangan antara Imam Hambali dan Imam Syafi’i menunjukkan dinamika pemikiran fiqh Islam yang kaya dan fleksibel. Kajian ini juga menegaskan pentingnya memahami perbedaan mazhab sebagai khazanah intelektual Islam yang dapat dijadikan landasan bagi pengembangan hukum Islam kontemporer, khususnya dalam konteks hukum keluarga.

Downloads

Published

2025-06-27

How to Cite

Muslim, M. (2025). PERBANDINGAN PANDANGAN IMAM HAMBALI DAN IMAM SYAFI’I TENTANG MASA IDAH PEREMPUAN AKIBAT CERAI KHULU’. Al-Muqaronah: Jurnal Perbandingan Madzhab Dan Hukum, 4(1), 76–89. https://doi.org/10.59259/am.v4i1.292